BERKUMPULKARENA CINTA, BERTEMU KARENA MAHABAH, BERSATU KARENA UKHUWAH TQN

Ilaahi anta maqshudi wa ridloka mathlubi a'thini mahabbataka waa ma'rifatak

Minggu, 11 April 2010

JAGALAH HATI DENGAN DZIKRULLAAH

“Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (az-Zumar [39]: 45)
Saya berharap ayat di atas tidak menyindir saya atau pun Anda. Sebab sangat jelas di dalam ayat tersebut, Allah swt. menjelaskan tentang kondisi hati orang-orang munafik.
Anda mungkin sering mendapati orang-orang yang menyebut nama Allah, di depan Anda, atau di hadapan orang banyak. Anda bisa perhatikan bagaimana mimik muka dan intonasi suaranya ketika dia mengucapkan nama Allah itu. Baik topik yang dibicarakan itu masalah-masalah agama maupun tidak. Lalu perhatikanlah pengaruh dia menyebutkan nama Allah itu terhadap diri dan hati Anda.
Anda mungkin sering melihat dan mendengarkan orang-orang yang menyebutkan nama Allah di hadapan orang banyak. Dari mimik muka dan intonasi suaranya ketika dia mengucapkan nama Allah itu, Anda akan bisa menilai tingkat percaya diri(pede)-nya ketika mengucapkan nama “Allah”.
Orang yang memiliki rasa percaya diri tinggi ketika mengucapkan suatu kata, maka ucapannya itu akan cepat meresap dan berpengaruh terhadap orang yang mendengarnya sehingga mereka memercayainya. Berbeda dengan orang yang berbicara dengan setumpuk keragu-raguan di hatinya, Anda sudah pasti akan meragukan apa yang dia ucapkan.
Mengutip pesan Syekh Abdullah Nasih Ulwan untuk para dai dan ulama, beliau berkata, “Ikutilah dai atau ulama yang kata-katanya membuat hatimu tenang dan pikiranmu menjadi tunduk memahami apa yang dia ucapkan.”
Kata-kata yang bisa memengaruhi pikiran dan perasaan orang lain adalah kata-kata yang diutarakan dengan jujur dari dalam hati sanubari dan disampaikan dengan penuh rasa percaya diri dan keyakinan penuh akan kebenaran apa yang diucapkannya.
Saya juga akan mengutip untuk Anda sebuah firman Allah yang cukup populer di kalangan ulama dan dai.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” (al-Anfaal [8]: 2)
Bagaimanakah pemahaman Anda tentang makna “…apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…”? Apakah Anda memahaminya sebagai hati yang merasa takut, kemudian menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya? Itu adalah pemahaman yang benar. Namun, saya akan mengajak Anda melakukan instrospeksi ke dalam diri kita masing-masing guna mencari “jalan lain” yang lebih sederhana dan gampang untuk memahami makna “hati yang bergetar” itu.
Apa yang Anda rasakan dalam hati Anda, ketika dari sekian banyak kata-kata dan kalimat yang Anda ucapkan di hadapan orang lain ada nama “Allah”? Baik ketika hanya bicara berduaan, atau ketika Anda menjadi seorang pembicara yang memberikan sambutan di hadapan umum dalam sebuah acara formal. Seberapa ‘pede’kah Anda mengucapkan nama “Allah” itu?
Bagi seorang ustadz atau ulama yang telah terbiasa berbicara tentang masalah agama, hal demikian tentu bukan menjadi masalah. Akan tetapi, nama “Allah” adalah satu-satunya kata yang memiliki “kekuatan gaib” bila pengucapannya digerakkan oleh keyakinan hati dan pikiran. Adanya “kekuatan gaib” dalam menyebutkan nama-Nya itu sama sekali tidak dipengaruhi oleh profesi orang yang mengucapkannya—apakah dia seorang ustadz, dai, ulama, dan sebagainya—atau seberapa biasa kita mengucapkannya. Namun, kekuatan itu terdapat pada seberapa yakinnya hati dan seberapa ‘pede’kah nama-Nya itu diucapkan.
Ada sebagian orang yang merasa ragu untuk menyebutkan nama “Allah” dalam perkataan dan pembicaraannya, kemudian menggantinya dengan “Tuhan,” istilah yang lebih umum dan “mewakili” Tuhan semua agama. Hatinya merasa “tidak enak” bahkan mungkin “muak” menyebutkan nama “Allah” secara tegas dan jelas di hadapan orang banyak sehingga dia menggantinya dengan “Tuhan.”
Saya berharap Anda bukan termasuk orang-orang yang demikian. Namun bila itu merupakan keadaan Anda selama ini, maka ayat yang saya kutip pada bagian awal bab ini secara tegas telah menyindir Anda.
“Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (az-Zumar [39]: 45)
Saya ingin menyegarkan kembali pikiran Anda dengan kisah Da’tsur ketika dia ingin membunuh Rasulullah saw. Saat itu, Rasulullah saw. sedang sendirian menunggu keringnya pakaian yang beliau jemur. Tidak ada siapa pun dari para sahabat yang menemaninya waktu itu.
Tiba-tiba datang Da’tsur dengan pedang terhunus lalu mengalungkannya ke leher Rasulullah saw. Untuk membunuh beliau, dia tinggal menekan dan menggesek sedikit saja untuk memotong lehernya. Akan tetapi, kesombongan hati Da’tsur yang tidak yakin akan keberadaan Allah, membakar emosinya untuk melemparkan pertanyaan yang menantang dan mengejek Tuhannya Muhammad.
Dia bertanya, “Hai Muhammad, sekarang aku akan memotong lehermu! Siapa yang akan menolongmu?”
Hanya satu kata yang beliau ucapkan untuk menjawab pertanyaan Da’tsur yang kafir itu, “Allah!” jawab Rasulullah.
Lalu apa yang terjadi dengan Da’tsur setelah mendengar nama Allah disebutkan oleh Rasulullah saw.?
Keringat dingin pun mengalir dari seluruh pori-pori kulitnya. Tangannya bergetar, seluruh persendiannya lemas, tulang-tulangnya serasa dicabut dari tubuhnya sehingga tidak mempunyai tiang penyanggah untuk dapat berdiri tegak. Dia jatuh tersungkur ketakutan bersama pedangnya.
Keadaan pun berbalik. Sekarang, Rasulullah yang memegang pedang itu dan mengalungkannya ke leher Da’tsur. Beliau pun balik bertanya, “Kalau sekarang, siapakah yang akan menolong kamu?” Dengan tubuh yang terbujur menggigil ketakutan di tanah, air mata yang mengalir deras, dan keringat dingin bercucuran, dia menjawab dengan suara bergetar, “Tidak ada wahai Muhammad, kecuali kalau kau mau memaafkanku!”
Beliau pun memaafkannya. Peristiwa itu adalah pintu hidayah bagi Da’tsur. Dia termasuk orang yang beruntung karena Allah dan Rasulullah masih membuka pintu hidayah baginya. Sehingga saat itu juga, Da’tsur mengucapkan kalimat syahadat sebagai tanda keislamannya.
Rasulullah mengucapkan nama “Allah” dengan hati yang penuh dengan keyakinan dan kepasrahan total pada kemahakuasaan-Nya. Ucapan yang mengalir dari dasar hati beliau itu pun mampu melunakkan hati yang keras serta melumpuhkan tubuh yang kekar dan kuat.